Kuburan yang Terkubur Zaman di Jayagiri

Bagi sebagian masyarakat yang berada pada jalur keyakinan bahwa jenazah yang dikubur itu adalah orang penting, niscaya sebuah kuburan adalah sebuah perkara yang juga penting. Saya barangkali berada pada jalur keyakinan itu. Sebab kuburan bukan sekedar sebagai tempat seonggok jenazah ‘ditanam’, melainkan sebuah penanda zaman. Terlepas dari jenazah yang sudah dikubur itu adalah orang penting atau orang biasa, keberadaan makamnya tentu hendak mengabarkan sebuah pesan bahwa pada suatu kurun masa pernah hidup seseorang yang pernah menyimpan jasa. Siapapun itu, sekecil apapun jasanya tentu keberadaan sebuah makam patut dihormati selayaknya ketika janazah yang ditanam dibawahnya masih hidup.

Taman Junghuhn

Seonggok makam dengan tulisan pada nisan diatasnya adalah warta, seperti halnya sebuah prasasti batu yang memberitakan sebuah legenda atau senarai Carita para Empu dan Raja. Dalam konteks kekinian, nisan makam juga bisa berfungsi untuk mempertautkan ingatan kolektif tentang masa lalu dan masa kini, sebagai bukti sejarah tentang kehadiran. Dan bukti sejarah itu salah satunya bisa dibuktikan lewat batu nisan.

Lewat batu nisan kita bahkan bisa mengetahui usia sebuah kota. Ketika Pemda Bandung pada tahun 1973 melakukan pembongkaran kerkhoff, makam Belanda di Kebon Jahe (kini Jln. Pajajaran) untuk dijadikan lahan GOR Pajajaran, dengan tanpa perhitungan dan persiapan yang cermat atas rencana penggusuran makam, penggusuran itu banyak menghilangkan peninggalan artefak makam Belanda yang berupa nisan, patung-patung, hiasan marmer, porselen-porselen, batu-batu granit dan ornamen-ornamen makam. Artefak-artefak itu lenyap. Padahal usia kerkhoff Kebon Jahe itu setua usia Pabrik Kina yang didirikan tahun 1896 di jalan Pajajaran. Tentu saja benang sejarah kehadiran orang-orang Belanda yang pernah hidup di Bandung pada suatu kurun masa itu menjadi terputus. Hilang tanpa jejak, pupus bersama waktu yang berlalu.

Beruntunglah ada sebuah nisan yang berusia cukup tua bisa terselamatkan. Nisan tua yang lebih tua dari usia kota Bandung. Nisan yang sempat disimpan warga dan kini berada di Museum Sribaduga itu terpahat sebuah nama: Anna Maria de Groote yang meninggal pada hari Rabu, tanggal 28 Desember 1756 jam 24.00 tengah malam, dalam usia 1 tahun 3 bulan 4 hari. Nisan itu ditemukan di ibukota Bandung lama, Krapyak Dayeuhkolot.

Nisan Junghuhn dan Dr. Johan Eliza de Vrij

Pusara makam Johan Eliza de Vrij

Lembang, sebuah kota kecil yang berada di kawasan Bandung utara adalah sebuah wilayah yang tak henti-hentinya saya kagumi dan sayangi. Lembang, bukan saja sekedar kota kecil yang pernah menyimpan ingatan melankolis dan sentimental pribadi, kawasan ini juga merekam kisah kiprah sejarah orang-orang Eropa yang pernah membaktikan hidupnya di lapangan ilmu pengetahuan dan perkebunan-perkebunan yang menjadikan kawasan Lembang sebagai tempat jasa-jasa itu dikemas dan disemai. Salah satunya adalah peran dan jasa seorang penemu tanaman kina, Franz Wilhelm Frederich Junghuhn (1809-1864). Berkat usaha Junghuhn dalam pembudidayaan tanaman kina untuk kepentingan pengobatan, sebuah pabrik kimia farmasi Bandoengsche Kinine Fabriek NV yang didirikan pada 29 Juni 1896 berhasil menyumbang 90 persen kebutuhan kina dunia.

J.E de Vrij

Makam Dr. J.E de Vrij (Sumber: Tropenmuseum)

Di desa Jayagiri, sebuah tugu obelisk berdiri tegak. Di atas lahan seluas 2,5 hektar itu terdapat sebuah makam atau yang lebih dikenal dengan Taman Junghuhn. Area taman yang dikelilingi berbagai jenis pepohonan itu menaungi sebuah tugu obelisk yang diyakini sebagai makam Junghuhn. Sayang sekali, nama besar si penabur kina itu tidak semegah pusaranya. Lahan yang dijadikan cagar alam Taman Junghuhn yang berdasarkan GB 21-02-1919 No. 6 stbl No. 90 tanggal 21 Februari 1919 itu lebih menyerupai sebuah lahan tak bertuan yang ditumbuhi semak belukar dan jalan pintas bagi warga sekitar. Keberadaannya semakin dipersempit oleh rumah-rumah penduduk yang didirikan disekitar area Taman Junghuhn.

Tidak jauh dari tugu obelisk Junghuhn ada sebuah makam seorang ahli kimia farmasi, Dr. Johan Eliza de Vrij (1813-1898). J.E de Vrij adalah seorang ahli kimia, sahabat sekaligus pengkritik Junghuhn, yang melakukan hasil uji tes kadar alkoid yang terdapat di dalam tanaman kina hasil pembudidayaan Junghuhn. Makam yang dikelilingi 11 buah pilar pendek sebagai pagar rantai itu kondisinya sangat memprihatinkan. Tulisan diatasnya sudah sangat sulit dilihat. Karena makam tersebut suka dijadikan tempat nongkrong-nongkrong warga sekitar, tulisan tersebut menjadi terhapus sama sekali. Pada dua buah foto makam J.E de Vrij koleksi Tropen Museum, terlihat sekali betapa makam itu pernah begitu asri dan terawat. Mungkin karena memang belum terdesak oleh pembukaan lahan perkampungan. Lebih menyedihkan lagi, lahan disekitar makam J.E de Vrij dijadikan tempat pembakaran sampah.

Makam Ernestine Florentine Jansz

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Makam Florentine Ernestine Jansz di Gg. Lurah Bintang

Masih di desa Jayagiri, tepatnya di di sebuah gang Lurah Bintang saya menemukan sebuah makam yang berada ditengah-tengah himpitan pemukiman warga. Makam itu kondisinya juga tak kalah memprihatinkan. Berada di jalan gang yang sering dilewati warga, nyaris membuat makam ini seperti berada dalam kondisi yang sepi ditengah keramaian. Warga sekitarpun tampaknya sudah sangat tidak mempedulikan lagi keberadaan makam itu, apalagi berhasrat untuk mengetahui jenazah siapakah yang ditanam dibawahnya. Di atas makam itu malah dipasang tali jemuran pakaian. Saya mencoba mendekati makam itu dan membaca tulisan yang terpahat diatas nisan yang masih bisa terbaca dengan jelas:

Hier Rust
Unze Geliefde Moeder
Ernestine Florentine Jansz
Geboren Te Soerabaia
15 April 1875
Overleden Ond Djajagiri
29 October 1908
Hare Dankbare Kinderen

Siapakah Ernestine Florentine Jansz? Jayagiri adalah kawasan yang tercatat sebagai ikon sejarah kejayaan tanaman kina. Meskipun sekarang sudah tidak ada, di wilayah ini pernah terdapat sebuah perusahaan perkebunan bernama Onderneming Djajagiri yang didirikan oleh Alexander Jansz asal Belanda pada tahun 1890. Makam ini adalah bukti peninggalan kejayaan onderneming Jayagiri, yang tentunya selain makam Junghuhn dan Dr. J.E de Vrij di atas. Selain perkebunan kina, desa Jayagiri merupakan daerah yang mengangkat perekonomian wilayah Lembang dengan adanya peternakan sapi dan perkebunan kopi, karena dulu wilayah ini dihuni oleh orang Eropa asal Belanda, Jerman, Hongaria dan Italia.

Nisan Ernestine Florentine Jansz (1875-1908)

Pemilik perkebunan Onderneming Djajagiri, Alexander Jansz beristrikan seorang wanita bernama Ernestine Florentine Jansz yang mempunyai anak bernama Albert Jansz. Sementara makam Albert Jansz dan keluarga pribumi bersama istrinya seorang wanita Sunda bernama Mimi Djoearsih, berada di halaman rumah keluarga keturunan Albert Jansz lainnya asal Menado, Ny. Lieke. Beberapa peninggalan sisa kejayaan onderneming Jayagiri saat ini masih dipelihara dengan baik oleh salah satu cicit keluarga Ernestine Florentine Jansz. Adalah pasangan Belanda bernama Cornelius van der Vliet dan Ny. Zimmermann yang memiliki cucu angkat, Billy Jansz dan anaknya, Antonius Jansz van der Vliet adalah cicit buyut Ernestine Florentine Jansz yang meninggal pada 29 Oktober 1908 itu juga turut berperan dalam pembangunan-pembangunan desa Jayagiri. Nama gang Lurah Bintang itu juga memiliki sejarahnya sendiri, yaitu sebutan bagi kepala desa yang memperoleh bintang tanda jasa dari Ratu Belanda.

Menurut pak Billy Jansz dan Antonius Jansz memang sudah ada rencana pemindahan makam nenek buyutnya itu, mengingat kondisi pemukiman warga gang Lurah Bintang yang tidak memungkinkan adanya sebuah makam disana. Selain faktor-faktor bernuansa klenik juga kerap terjadi disekitaran makam. Bagi peminat sejarah kawasan, terlebih lagi bagi keluarga Billy Jansz sangat disayangkan jika peninggalan sejarah Lembang tersebut selalu dikait-kaitkan dengan hantu orang bule atau hal-hal klenik lainnya. Kejayaan Onderneming Djajagiri kini hanya tinggal cerita. Perkebunan kina kini berganti menjadi pohon pinus, bahkan sampai tahun 1965 di desa Jayagiri masih dipenuhi oleh pohon-pohon pinus disekeliling lahan Taman Junghuhn.

Menurut kisah pak Billy jansz, populasi pohon pinus juga masih banyak terdapat di daerah peternakan Baroe Adjak NV milik Ursone bersaudara. Selain sebagai pengusaha peternakan sapi perah, keluarga Ursone bersaudara juga sebagai pengusaha tanaman kina. Dan ketika sebuah peristiwa penjarahan massa terhadap Baroe Adjak NV terjadi oleh sekelompok massa, tanaman kina itu akhirnya habis tak bersisa lagi. “Kini entah seperti apa masa depan pengusahaan tanaman kina di Indonesia”, ujar pak Billy Jansz, sang cicit Ny. Ernestine Florentine Jansz itu. [Andrenaline Katarsis]

Verwisselde Hoeden

Keluarga Verwisselde Hoeden di makam J. E de Vrij (Sumber: Tropenmuseum)

)* Sumber:
Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (Haryoto Kunto) – penerbit PT Granesia, Bandung.
Kisah Para Preanger Planters: Junghuhn Pernah Membuka Usaha “Pengalengan” Kopi di Pangalengan (Her Suganda) – penerbit Kompas, Gramedia.
Jayagiri Simpan Kekayaan Sejarah Dunia (Kodar Solihat) – Koran Pikiran Rakyat

Leave a comment