Pemuda Suhud sang pengerek Bendera Pusaka itu ternyata kakekku

RepublikaSuatu hari, tepatnya beberapa hari setelah ayahku meninggal, aku membongkar tumpukan tas yang berisi aneka macam dokumen dan surat-surat penting milik ayah yang tersimpan di dalam banyak tas besar. Di dalam tas itu ada banyak map dan clear folder. Aku membuka dan memeriksanya satu persatu, meski aku sendiri tidak tahu apa sebenaranya yang sedang aku cari. Dan aku dibuat terperangah ketika menemukan selembar artikel koran Republika yang dalam kondisi sudah di fotokopi. Aku kemudian membacanya dengan sepenuh takzim dan selaksa rasa tak percaya karena judul artikel yang menohok itulah yang membuatku penasaran: Suhud Mencari Susu untuk Guruh Soekarnoputra.

Usai membaca artikel koran itu perasaanku seperti gamang, diombang-ambing antara percaya dan tidak, dan diliputi banyak tanda tanya. Benarkah Suhud yang namanya sering kubaca di buku-buku sejarah seputar penculikan Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok atau seputar peristiwa pembacaan teks Proklamasi oleh Soekarno itu adalah mbah Suhud kakekku? Apakah Pemuda Suhud yang dimaksud adalah sesosok pria yang hanya terlihat bagian punggungnya saja di dalam foto hitam putih yang bercelana pendek sedang mengerek bendera bersama Latief Hendraningrat? Apakah benar Suhud yang dimaksud itu adalah kakekku?

sang saka

Pemuda Suhud bersama Latief Hendraningrat

***
Suhud Mencari Susu untuk Guruh Soekarnoputra

Kendaraan jenazah memasuki pelataran Masjid Ghoyatul Jihad, tepat pukul 13.30 WIB, Kamis (20/1). Masyarakat perkampungan Pasirtalaga, Desa dan Kecamatan Telagasari, Karawang, Jawa Barat, berkumpul menyambutnya. Jenazah Suhud Hidayat segera diturunkan dan disambut tangis duka sanak saudara dan kerabatnya. Siapakah Suhud Hidayat?

Masyarakat Karawang umumnya mengenal H. Suhud Hidayat sebagai tokoh masyarakat, pemerintahan dan tokoh agama, di tempat kelahirannya, Karawang. Tidak banyak yang tahu, Suhud yang meninggal itu adalah pria tua yang 48 tahun lalu –bersama dua rekannya- mengerek bendera Sangsaka Merah Putih di Pegangsaan Timur Jakarta.

Malah banyak keluarga dekatnya tak tahu Suhud pernah menjadi pelaku sejarah bangsa ini, “Pengerek bendera proklamasi?”. Kakak, keponakan, cucu dan saudara dekat Suhud terbelalak kaget begitu mendapat kabar jenazah itu adalah orang pertama yang menaikkan Merah Putih ketika Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.

“Beliau memang suka bercerita, tapi ceritanya hanya berkisar tentang keluarga”, kata Supatmi (70), istrinya kepada Republika di pemakaman keluarga di Kampung Pasirtalaga. “Segala perjuangannya di zaman sesudah dan sebelum kemerdekaan, tidak pernah diungkit-ungkit,” lanjut Supatmi, wanita yang dinikahinya satu tahun setelah kemerdekaan.

Suhud Hidayat meninggal di Rumah Sakit Islam Jakarta, Kamis pukul 12.04 dalam usia 74 tahun. Siang itu juga jenazahnya dimakamkan di Kampung Pasirtalaga, Karawang – kampung tempat kelahirannya. Suhud tak dikenal sebagai pelaku sejarah, boleh jadi karena pribadinya yang sederhana. Orangnya dikenal santun dan penyabar. Ia pun seperti alergi pada urusan publikasi. Sebagai ‘orang berjasa’ Suhud tak pernah berpamrih atas perjuangannya.

Sejak awal ia menolak untuk mengurus pensiun bersama rekan-rekan seangkatan dan seperjuangannya. “Beliau dengan tegas tidak mau menerima uang pensiun dengan alasan semua pengorbanannya demi agama. Itu panggilan Allah, beliau selalu begitu alasannya,” ujar kerabatnya. Bukan hanya menolak dana pensiun. Mantan Dewan Pimpinan Daerah (sekarang Bupati) Karawang ini pun selalu enggan menerima sumbangan dari Pemerintah Daerah Tk. II Karawang. Misalnya Suhud pernah menolak menunaikan ibadah haji dengan biaya dari Pemda.

Bagi Ny. Supatmi, pensiunan guru SPK di Karawang, suaminya adalah pribadi yang mengagumkan. Semua perjuangan semasa hidupnya tak pernah ia beberkan kepada orang lain, sehingga wajar jika anak, cucu dan keponakan serta kerabat dekat tidak pernah ada yang tahu bahwa Suhud penggerek bendera di awal kemerdekaan. Sekaligus orang yang paling sibuk mencari susu buat putra Bung Karno, Guruh ketika Presiden RI pertama itu diculik dari persembunyiannya di Rengasdengklok.

“Semua perjuangan bapak hanya saya yang tahu. Sebab saya melihat dan merasakannya. Sementara saudara-saudaranya hanya tahu beliau itu sebagai Mubalig, mantan Bupati dan tokoh masyarakat,” ujar Ny. Supatmi. Memang tidak ada hari yang terlewat untuk melayani kebutuhan rohani masyarakat yang datang ke rumahnya di samping pintu kereta api Johar, Karawang.

Jasa apapun yang pernah ia berikan pada orang lain, Suhud tidak pernah mengharapkan imbalannya. “Kalau ia dipanggil untuk mengisi acara keagamaan seperti Muludan dan Rajaban ia menolak terima amplop,” cerita beberapa tokoh masyarakat. “Sehingga wajar jika dalam kesehariannya ia sangat bersahaja,” kata Yuyun, mantan Camat yang pernah menjadi bawahannya. Bahkan di akhir hayatnya, Suhud menolak dimakamkan di Taman Pahlawan. “Bapak berpesan agar jika meninggal tidak usah ada upacara segala. Cukup disholatkan dan segera dimakamkan di pemakaman keluarga,” kata Ir. Drs. Zaenal Abidin, putra tertua almarhum kepada Republika.

Jiwa kejuangan Suhud telah tumbuh sejak kanak-kanak. Suhud kecil adalah pemuda desa yang tergolong paling berani. Namun, cerita kakak Suhud, Ny. Nuraini (76) dalam keberaniannya berbicara dan bertindak Suhud tidak pernah terlibat perkelahian. Maka wajar jika ia banyak kawan, baik ketika ia sekolah Belanda maupun ketika di pesantren. Bahkan di Tasikmalaya, Suhud sempat membuat semacam majalah dinding yang isinya tentang dakwah.

Menginjak dewasa, ia pindah ke Bandung, Purwakarta, kemudian ke Jakarta. Anak ketiga dari tujuh bersaudara putra almarhum Upin Suraatmaja yang menjabat mantri lumbung padi pada zaman penjajah Belanda, tidak pernah diketahui apa pekerjaannya. Menurut cerita Endang Junaedi (50), keponakan almarhum, Suhud kembali ke kampung kelahirannya pada 1949. Pada tahun itu juga Suhud terpilih menjadi Dewan Pimpinan Daerah (DPD) – saat ini disebut Bupati. “Meskipun jabatannya tinggi, beliau tetap merakyat”, kenang Endang.

Saksi hidup sekaligus sahabat Suhud adalah H. Oaminta (saat itu wartawan harian Berita Yudha). Ketika menjadi DPD, Suhud mendirikan Rumah Sakit Umum Adiarsa Karawang yang diresmikan Bung Hatta. Ia juga membangun Aljihad (masjid tertua di Karawang), menyusun sejarah Karawang, dan membangun jembatan yang sampai saat ini masih kokoh di Kecamatan Telukjambe di atas sungai Citarum.

Suhud pernah membuat peraturan: Semua pendiri dan siapa saja yang ikut meneteskan keringat demi lahirnya RSU Adiarsa agar dibebaskan dari biaya jika berobat kesana. Tapi Suhud “tak konsisten”, sebab setiap ia menggunakan pelayanan RSU tersebut, ia menolak untuk tidak membayar. Hal itu Suhud lakukan sampai saat akhir hayatnya menjelang – sebelum di rawat di RS Islam Jakarta sampai wafatnya. “Rumah sakit sudah memberikan fasilitas yang memuaskan termasuk bebas biaya, namun almarhum berkeras hati untuk membayarnya”, kata keluarga almarhum yang dibenarkan oleh karyawan RSU Adiarsa.

Almarhum meninggalkan istri, lima anak dan 12 cucu. Suhud mengisi masa senjanya dengan bekerja mendirikan home industry percetakan batako di rumahnya. “Beliau tidak mau menggantungkan hidup kepada orang lain dan almarhum tidak mau berhenti bekerja,” kata istrinya. Selamat jalan, Pak Suhud.

***

*) Maklumat:
Dengan tanpa niat untuk membuat sensasi atau membuat kacau roda sejarah ihwal tokoh seputar peristiwa penaikan Sangsaka Merah Putih yang berlangsung di Pegangsaan pada 17 Agustus 1945, atau menambah hiruk pikuk suasana karena ternyata kuketahui ada pihak lain yang memang mengaku-ngaku sebagai “tokoh” Pengerek Sangsaka Merah Putih. Aku mengetik ulang dan mempublikasikan berita koran harian Republika yang terbit tahun 1994, tahun ketika mbah Suhud Hidayat -sewaktu kecil aku memanggil kakekku dengan panggilan ‘Mbah’- meninggal ketika aku masih duduk di bangku SMA, adalah sebuah bentuk penghormatanku secara pribadi sebagai cucu almarhum Suhud Hidayat.

Benar atau tidaknya ‘Pemuda Suhud’ atau Suhud Hidayat sebagai pelaku sejarah pada peristiwa penaikan Sangsaka Merah Putih itu, biarlah roda sejarah yang akan menjawab dan membuktikannya. [Andrenaline Katarsis / Andrias Arifin]

SILSILAH PARA BUPATI SUKAPURA DARI DINASTI WIRADADAHA DAN KETURUNANNYA

2 thoughts on “Pemuda Suhud sang pengerek Bendera Pusaka itu ternyata kakekku

  1. Terima kasih atas share nya , kami juga masih keluarga besar dari cicit Upin Suryatmaja dari anak pertama Umar Tajudin, kisah kakek Suhut sering kami dengar dari ayah kami Uus husnadi .. senang bisa membaca naskah literasi ini
    Salam keluarga ….. asslamualaikum wr wb

    • Hatur nuhun, terimakasih sudah singgah di blog saya. Nama2 yang akang sebut juga pernah saya dengar sayup-sayup ketika Embah Engget (nama panggilan saya ke mbah Suhud) kalau sedang bercerita. Kalau saya berkunjung ke keluarga di Karawang juga masih sering menceritakan kiprah Mbah Suhud. Saya juga masih ingin menggali kisahnya lebih dalam lagi. Salam.

Leave a comment