Di Balik Kokohnya Benteng Gunung Putri

Sudah hampir maghrib saya masih di atas gunung mencari dimana Benteng Gunung Putri itu berada. Sayup-sayup suara adzan maghrib yang berasal dari corong masjid di Kampung Legok mulai terdengar. Langit mulai beranjak gelap. Entah datang dari mana keberanian itu muncul, bisa-bisanya sesore itu saya seorang diri berada di dalam hutan hanya untuk mencari reruntuhan benteng yang dibangun zaman Hindia Belanda. Saya pun akhirnya memutuskan untuk kembali pulang tanpa membawa hasil alias tidak menemukan benteng yang saya cari.

Di jalan kampung saya berpapasan dengan seorang lelaki paruh baya. Bapak itu menyapa saya dalam bahasa Sunda yang lembut,

“Mulih ti mana, cep?”[1]

“Wangsul ti gunung, pa. Milari benteng, ngan teu kapendak”[2] balas saya.

“Meni ludeungan poek-poek kieu ka gunung. Kade ah, sok aya bagong ari magrib mah”[3].

Deg! Jantung saya seperti mau copot dari tungkainya.

20160909_114928

Benteng itu akhirnya saya temukan setelah beberapa minggu kemudian saya kembali lagi ke Gunung Putri. Kali ini tidak sore hari, melainkan pagi hari saat sinar matahari sedang hangat-hangatnya bersinar di timur Lembang. Selain dari arah hutan Cikole, lokasi benteng yang berada di Gunung Putri ini salah satunya bisa ditempuh dengan melewati jalan yang berada di kampung Legok, Lembang. Kondisi jalan untuk menuju Benteng Gunung Putri terbilang tidak terlalu bagus, terjal dan berbatu-batu. Jika mau menggunakan kendaraan, pastikan kendaran yang cocok untuk melewati jalan ini harus berjenis jip atau motor trail. Karena motor saya bukan termasuk kategori motor yang mampu bergerak lincah di jalanan berbatu-batu rumpil, saya pun terpaksa harus menitipkan motor di sebuah warung, kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju puncak Gunung Putri yang kini dijadikan hutan lindung yang dikelola Perum Perhutani Kesatuan Pemangku Hutan Bandung Utara. Sebelum memasukinya saya membeli tiket seharga Rp. 7.500 di sebuah pos penjagaan.

20160909_113526

Setelah satu jam perjalanan melewati hutan pinus dan tanjakan-tanjakan yang lumayan bikin nafas ngos-ngosan, sampailah saya di Benteng Gunung Putri. Benteng itu lokasinya agak menjorok ke dalam dan terlindungi oleh bebatuan dan pepohonan pinus yang rimbun. Inilah salah satu benteng sisa peninggalan sejarah Perang Dunia ke II yang berada di Lembang. Sebenarnya ada beberapa situs benteng bersejarah sisa pertahanan Belanda yang masih tersisa di kawasan Bandung Utara dengan lokasi yang menyebar, diantaranya di Cikole, Jayagiri, Cikahuripan, Dago Pakar, Cipada, hingga Cikalong Wetan.

Benteng pertahanan yang berada di atas gunung ini kondisinya masih terlihat utuh, meski pada beberapa bagian sudah rusak akibat pembiaran dan tangan-tangan jahil yang mencoba mempreteli besi-besi rangka bangunan benteng. Sisanya, kondisi benteng itu kini terbengkalai dan tertutup semak-semak. Di beberapa bagian benteng ada yang sudah tertimbun tanah akibat erosi sehingga menutupi ruangan dan halaman depan benteng. Jika dilihat struktur bangunannya, benteng ini lebih menyerupai bungker dengan pondasi yang masih terlihat kokoh menghadap selatan. Di depan bungker terdapat pintu gerbang menyerupai gapura tembok tebal yang dilengkapi semacam pagar tembok pertahanan, lubang-lubang pengintaian serta beberapa lubang jendela untuk memasang senapan mesin.

20160909_122108

Saya mencoba masuk dan berkeliling di dalamnya. Saya amati, di dalam benteng itu terbagi dalam sekat-sekat ruangan menyerupai kamar-kamar yang cukup untuk memuat sekitar 10 velbed, tempat tidur lipat serdadu. Dinding-dindingnya yang terbuat dari bahan campuran adukan batu split, pasir ayak, beton bertulang dan semen menjadikan dinding beton yang kokoh setebal 1 meter itu tidak mudah dihancurkan. Untuk mengelabui musuh dari udara, di atas bungker ditutupi gundukan tanah sehingga posisi bungker tersebut seperti tertanam dalam tanah dan menyerupai puncak bukit. Di salah satu sudut benteng menyembul sebuah benteng kecil. Ketika dihampiri benteng kecil itu adalah sumur berbentuk kotak sedalam 10 meter yang kemungkinan bekas cerobong ventilasi.

Riwayat pertempuran ‘Ciater Stelling’                   

Rontoknya kolonialisme Belanda yang berlangsung di kawasan Asia Timur Raya secara berangsur-angsur dimulai dengan penyerbuan pasukan tentara Jepang ke Pulau Jawa pada tahun 1942. Bandung sebagai kota yang strategis bagi pemerintahan Belanda dengan menjadikannya sebagai pusat militer, sudah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan akan terjadinya serangan musuh. Sebagai jantungnya Hindia Belanda, jauh-jauh hari Belanda sudah mempersiapkan pertahanan militernya dengan membangun benteng-benteng pertahanan. Informasi penyerbuan Jepang ke Pulau Jawa sudah diketahui oleh intelijen Belanda yang memprediksi bahwa serangan Jepang akan dilakukan dari arah selatan. Barangkali inilah salah satu alasan kenapa Benteng Gunung Puteri ini menghadap selatan.

20160909_114721

Di luar prediksi yang meleset itu, serangan Jepang justru dilakukan dari arah utara. Dengan didukung pasukan udara, mendaratnya pasukan Jepang dengan kekuatan pasukan yang diangkut dengan 7 buah kapal angkut dan dikawal oleh 3 kapal torpedo yang dipimpin oleh Kolonel Shoji yang berlabuh di Pantai Eretan Wetan, Indramayu merupakan kekuatan Jepang untuk menduduki Jawa Barat. Gempuran yang dilakukan 3000 anggota pasukan yang dibagi dalam dua batalion infantri yang dipimpin Mayor Egashira dan Mayor Wakamutsu adalah untuk menyerang pangkalan udara Kalijati, Subang terlebih dahulu yang saat itu sebagai basis angkatan udara terbesar Belanda, sebelum akhirnya memasuki kota Bandung.

Salah satu benteng Ciater yang didirikan di jalan arah ke Subang dilengkapi meriam dan satu brigade pasukan KNIL disiapkan untuk menghadapi serangan Jepang. Di lokasi pertahanan serangan Ciater inilah terjadi pertempuran brutal antara pasukan KNIL melawan pasukan Jepang pimpinan Kolonel Shoji yang berlangsung pada bulan Maret 1942. Pertempuran sengit di Ciater itu berlangsung selama 3 hari yang berakhir dengan mundurnya pasukan KNIL berbarengan dengan pernyataan menyerahnya Hindia Belanda ke tangan Jepang yang berlangsung di Pangkalan Udara Kalijati, Subang.

20160909_113455

Sebanyak lima pasukan infanteri KNIL yang bertempur habis-habisan mempertahankan Subang – Lembang (Pasukan Infantri I pimpinan Kapt. M. Kooistra, Pasukan Infantri II pimpinan Kapt. W.M Wensel, Pasukan Infantri V pimpinan Lettu. J.C Faber, Pasukan Infantri XXI pimpinan Letkol. BCD. Drejer, dan satu brigade pimpinan L.Z. Siahaya) itu pun berhasil dipukul mundur oleh pasukan Jepang karena kehabisan amunisi. Mendapati pasukan Belanda yang kocar-kacir, dengan mudah kubu-kubu pertahanan Belanda diduduki pasukan Jepang.

Menyamar sebagai orang biasa

Dari pertempuran sengit di Ciater itu hanya menyisakan 72 orang tentara KNIL. Sebagian tentara itu ada yang langsung di eksekusi tentara Jepang, sebagian lagi ada yang melarikan diri ke arah Cimahi sebagai pusat markas KNIL dengan melewati rute Benteng Gunung Putri yang kemudian dilanjutkan ke Benteng Pasir Ipis, perkebunan teh Sukawana, Parongpong, Cisarua kemudian turun ke Cimahi.

Kebrutalan tentara Jepang ketika mengeksekusi musuh-musuhnya itu membuat serdadu KNIL ketakutan. Setelah berhasil melucuti seragam dan persenjataannya, pasukan KNIL yang tertangkap hidup-hidup itu lalu digiring ke sebuah puncak bukit yang kini berdiri Tugu Bela Negara untuk dieksekusi dengan cara diberondong senapan mesin atau ditusuk bayonet. Sebelum dieksekusi, tentara Jepang itu merampas jam tangan, cincin atau apa saja yang dianggap berharga yang dipakai serdadu KNIL. Jika menolak langsung dipukul. Sebelum dijemput ajal, tawanan itu ada yang berteriak-teriak histeris atau khusyuk berdoa.

20160909_113952

Pemandangan yang menakutkan  itulah membuat sebagian pasukan KNIL yang selamat dari tangkapan Jepang memilih kabur. Di tengah perjalanan mereka melarikan diri, mereka membuka dan menanggalkan seragamnya dan membuangnya di kebun-kebun. Tujuannya supaya tidak ditangkap atau ditembak di tempat oleh Jepang. Dengan demikian Jepang mengira bahwa mereka adalah rakyat sipil biasa.

***

Ketika saya duduk-duduk di atas onggokan batu Benteng Gunung Putri, saya membayangkan getirnya pekikan kesakitan serdadu-serdadu yang  malang itu sebelum dijemput maut eksekutor Jepang. Mereka yang mengiba, meratap, menangis, berteriak atau mungkin memohon pengampunan. Tapi perang tidak selembut puisi, apalagi setenang doa. Yang ada hanyalah memilih membunuh atau dibunuh. Dan di Benteng Gunung Puteri ini saya mendapati diri yang mendadak murung. Sinar matahari sudah tak lagi hangat sejak tadi, saya pun turun gunung. Pulang.

 

————————————

[1] “Pulang dari mana, cep?” (kata ‘Cep’ dari ‘Acep’ sebagai panggilan halus untuk anak laki-laki)

[2] “Pulang dari gunung, Pak. Mencari benteng, tapi nggak ketemu”

[3] “Beraninya gelap-gelap begini ke gunung. Awas ah, kalau magrib biasanya suka ada babi hutan”

20160909_105711

20160909_122114

20160909_113558

20160909_113544

20160909_123107

20160909_113440

20160909_111426

 

One thought on “Di Balik Kokohnya Benteng Gunung Putri

Leave a comment