Gagal ke Sanghyang Heuleut, Singgah di Citarum Purba

Barangkali nama Sanghyang Heuleut tidak terlampau terkenal dibandingkan dengan Sanghyang Tikoro, goa atau sungai bawah tanah yang konon tempat bobolnya danau Bandung purba. Titi Bachtiar melalui bukunya, Bandung Purba: Panduan Wisata Bumi membantah jika bobolnya danau Bandung purba itu justru di Cukangrahong sebelah barat dan Curug Jompong di sebelah timur. Nama Sanghyang Heuleut baru mengemuka kisaran dua tahun belakangan berkat media sosial yang mengunggah foto-foto keindahan panorama Sanghyang Heuleut yang berupa ceruk berbatu besar yang dialiri sungai yang airnya berwarna hijau tosca. Siapapun yang melihat keindahan foto-foto Sanghyang Heuleut, dijamin akan terbesit hasrat untuk sekedar mengunjunginya. Begitu pun saya.

20170919_122325

Siang yang menyengat ketika titik-titik matahari bersinar di Bandung sebelah barat. Berbekal hasrat semata tanpa disertai detail informasi yang cukup untuk menjamah Sanghyang Heuleut membuat perjalanan saya bersama Andri Abdulrozak nyaris tersesat. Usai melewati kawasan hutan jati yang dilalui jalan yang meliuk-liuk di punggungan perbukitan Rajamandala, tibalah kami di sebuah daerah instalasi PLTA Waduk Saguling. Kami tiba-tiba merasa cemas. Perasaan antara ragu dan gundah tiba-tiba menyergap. Melihat instalasi PLTA dengan penjagaan yang terlihat ketat, ditambah dengan pemandangan berupa dua pipa besi berukuran raksasa yang meluncur dari atas bukit, tempat air dari Danau Saguling diluncurkan untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik di sekitar Sanghyang Tikoro.

Suasana itu seperti mensugesti kami kalau-kalau kami tidak diizinkan untuk memasukinya. Tapi bagaimana dengan bocah-bocah remaja di dalam foto-foto yang berhasil bertengger di atas batu dan berenang-renang dengan riang di Sanghyang Heuleut? Bagaimana mereka bisa sampai di sana sementara instalasi PLTA Saguling ini adalah satu-satunya akses menuju ke sana? Kami pun ditikam amarah karena ketidakbecusan kami menembus barikade penjagaan di pos PLTA Saguling. Kami pun mengutuk sejadi-jadinya. Deru gemuruh air sungai yang terdengar amblas ke dasar liang Sanghyang Tikoro tidak lagi menarik minat kami. Meskipun aliran sungai dengan pemandangannya yang memukau itu berjarak hanya selemparan batu saja dari tempat kami mengutuk diri. Sebab kedatangan kami ke sini hanya ingin ke Sanghyang Heuleut, itu saja.

20170919_121907

Matahari semakin garang menyemprotkan panasnya. Tubuh kami keleleran saking gerahnya. Satu-satunya tempat untuk menengahi resolusi konflik yang sedang mendera kami adalah mencari warung. Apalagi kalau bukan sekedar ngopi? Warung itu berada tidak jauh dari bantaran sungai Citarum. Di dalam warung itu ada seorang wanita paruh baya. Tidak terlampau tua juga tidak bisa disebut muda. Sedari awal si teteh itu tampak pendiam. Barangkali karena menguping percakapan saya dengan Andri Abdulrozak yang tidak membuahkan hasil mencapai lokasi Sanghyang Heuleut, tiba-tiba si teteh bertubuh sintal itu ikut menimpali obrolan kami.

Diselingi tawa cekikikan yang membuat saya dan Andri Abdulrozak menjadi merinding, si teteh itu menerangkan kalau lokasi-lokasi di sekitaran Citarum itu, khususnya Sanghyang Heuleut, merupakan wilayah mistis yang dihuni mahluk halus dari negeri antah berantah. Itu sebabnya Sanghyang Heuleut tidak terlampau terekspos saking angkernya. Tapi jika mau ke Sanghyang Heuleut, siapapun wajib didampingi warga lokal sebagai pemandu yang akan menunjukan jalan. Dibumbui dengan cerita-cerita yang bikin berdiri bulu kuduk, membuat saya menjadi semakin melongo. Suasana yang pas untuk tidak usah bertandang sekalian ke Sanghyang Heuleut, setidaknya untuk saat itu.

20170919_122343

Sisa Kejayaan Citarum Purba

Demi membuang sauh kekecewaan dan beban energi hitam akibat cerita-cerita absurd yang dituturkan si teteh pemilik warung, saya dan Andri memutuskan untuk sekedar jalan-jalan di bantaran sungai Citarum dan jembatan yang memisahkan dua kabupaten itu; kabupaten Cianjur dan kabupaten Bandung Barat. Citarum yang dikelilingi panorama suasana desa terpencil di pinggir sungai, bukit-bukit hijau yang ditingkahi nyiur pohon kelapa yang bergoyang ditiup angin, suara gemericik air yang jernih membentur batu-batu, dan aliran air sungai Citarum yang mengalir tidak terlampau beringas.

Barangkali ucapan-ucapan si teteh pemilik warung itu memang benar, sebab sesiang itu suasana pinggir Citarum terasa sunyi yang tak lazim. Bagaimana tidak angker jika Citarum tempat saya berdiri di Desa Cihea, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur ini merupakan sungai purba yang berusia jutaan tahun. Batuan kapur yang membentuk karst-karst berasal dari laut dangkal sekitar 30 juta tahun yang lalu bahkan masih bisa ditemukan di Sanghyang Poek, Sanghyang Tikoro atau Sanghyang Kenit. Mendengar nama-namanya saja sudah mengasosiasikan suasana mistis, misterius dan bertuah.

20170919_121651

Di dalam buku panduan wisata Gids van Bandoeng en Midden Priangan door S.A Reitsma en W.H. Hoogland tahun 1927, ketika sungai Citarum masih berair jernih, pemerintah Hindia Belanda sempat menjadikan lokasi ini sebagai lokasi wisata. Kemudian selama puluhan tahun lokasi wisata ini terbengkalai sehingga menimbulkan kesan angker dan tak terjamah. Barulah kemudian lokasi ini dijadikan kawasan Unit Pembangkit Listrik Saguling yang menghasilkan listrik sebesar 47 MW yang masuk ke dalam jaringan listrik Jawa – Bali.

Matahari sudah tergelincir ke barat. Udara sudah tidak sepanas beberapa jam yang lalu. Sembari bertukar kisah dan sejarah sungai purba Citarum, saya dan Andri Abdulrozak menyusun ulang rencana untuk benar-benar sampai ke Sanghyang Heuleut. Satu hal yang pasti, untuk bisa sampai ke lokasi Sanghyang Heuleut itu harus dimulai di pagi hari. Karena untuk menuju ke sana harus menaiki punggung bukit, menembus hutan, melewati batu-batu terjal. Setidaknya begitu kata si teteh pemilik warung itu berpesan.

20170919_122402

IMG-20170919-WA0028

Bersama Andri Abdulrozak

20170919_114741

 

 

 

 

 

 

Leave a comment