Gagal ke Sanghyang Heuleut, Singgah di Citarum Purba

Barangkali nama Sanghyang Heuleut tidak terlampau terkenal dibandingkan dengan Sanghyang Tikoro, goa atau sungai bawah tanah yang konon tempat bobolnya danau Bandung purba. Titi Bachtiar melalui bukunya, Bandung Purba: Panduan Wisata Bumi membantah jika bobolnya danau Bandung purba itu justru di Cukangrahong sebelah barat dan Curug Jompong di sebelah timur. Nama Sanghyang Heuleut baru mengemuka kisaran dua tahun belakangan berkat media sosial yang mengunggah foto-foto keindahan panorama Sanghyang Heuleut yang berupa ceruk berbatu besar yang dialiri sungai yang airnya berwarna hijau tosca. Siapapun yang melihat keindahan foto-foto Sanghyang Heuleut, dijamin akan terbesit hasrat untuk sekedar mengunjunginya. Begitu pun saya.

20170919_122325

Continue reading

Gunungbatu sebagai puncak Patahan Lembang

Trekking ke puncak gunung dilakukan di pagi hari itu sudah biasa. Tapi naik ke atas puncak gunung di siang bolong ketika matahari sedang panas-panasnya, barangkali merupakan tindakan iseng. Entah apa yang melatarbelakangi saya untuk memanjat Gunungbatu yang berada di desa Mekarwangi, Lembang di siang hari itu. Tepat jam 12 siang, saya hendak menuju Lembang dari arah jalan Dago. Pada sebuah turunan jalan menuju Maribaya atau arah perkampungan di pertigaan jalan Gunungbatu, saya menghentikan laju sepeda motor saya dan membelok ke kiri jalan menyusuri jalanan berbatu rumpil disertai debu jalan yang cukup tebal.

20170913_121859-01

Di jalan itu saya berpapasan dengan dua orang ibu tua yang terlihat ripuh membopong dua karung besar. Meski terlihat repot karena membawa beban itu, tapi tak urung kedua ibu itu dengan ramah menjawab ketika saya menanyakan kemana jalan untuk menuju puncak Gunungbatu. Malah salah seorang ibu menawarkan halaman rumahnya untuk saya memarkir motor. “Parkir motor di rumah Emak Acih saja. Itu ‘tuh rumah Emak yang ada warung jeruk”, kata salah Emak Acih dalam bahasa Sunda. Ditawari begitu saya pun tentu senang. Jadi kunjungan saya ke Gunungbatu itu sebenarnya sedang mengadu peruntungan, syukur-syukur ada tempat yang aman untuk menyimpan motor. Ternyata usut punya usut, menurut Emak Acih, banyak motor yang hilang jika motor dititip sembarangan. Itulah sebabnya Emak Acih menawari saya untuk menyimpan motor di halaman rumahnya.

20170913_122818-01

Gugusan gunung-gunung di sebelah utara

Continue reading

Mencari Sunda dan Ikhtiar Merayakan Kehidupan Sehari-hari

“Lahir sebagai orang Sunda adalah takdir, menjadi Sunda adalah pilihan”, demikian sebuah kredo yang pernah diucapkan Hawe Setiawan suatu ketika. Sebagai urang Sunda pituin kelahiran Cisalak, Subang, Hawe Setiawan sudah memenuhi takdirnya. Namun untuk menjadi Sunda adalah sebuah ikhtiar yang terus dicarinya selama hayat masih dikandung badan. Dan usaha pencarian atas identitas dan jati dirinya sebagai urang Sunda, bagi Hawe Setiawan sudah bukan lagi berupa angan-angan atau khayalan, melainkan sudah mewujud dalam bentuk ritus pergulatan intelektual.

20170221_124155

Bersama Hawe Setiawan, penulis “Tanah dan Air Sunda”

Continue reading

Suka Duka Sinyo dari Garut

Kisah-kisah berlatar belakang Indonesia di masa kolonial memang menarik, terlebih cerita yang mengkisahkan sebuah kehidupan masa kecil seorang ‘sinyo’ keturunan Jerman yang lahir dan besar di Priangan. Kisah kanak-kanak yang pernah dilewatkan dengan begitu indah hingga mengalami pergulatan hidup yang traumatis akibat kecamuk perang, terasa menggoda untuk dibaca. Buku Kisah Seorang Sinyo selayaknya memoar yang berisi pilinan kisah anak manusia yang pernah melewati fase kehidupan dalam tiga zaman: zaman mooi indie yang romantis, zaman Jepang yang menyengsarakan dan zaman perang kemerdekaan Indonesia yang penuh ketidakpastian.

*Dimuat di harian Pikiran Rakyat, rubrik Pabukon. Kamis, 31 Agustus 2017

24

Kliping buku “Kisah Seorang Sinyo”

Curug Cinulang, Air Terjun Kembar di Pelosok Cicalengka

“Di Curug Cinulang, bulan bentang narembongan. Hawar-hawar aya tembang, tembang asih tembang deudeuh nu duaan”. –Yayan Jatnika

Pancurannya ada dua, dengan debit air yang lumayan deras dan besar. Gemuruhnya terdengar mulai dari pintu masuk penjagaan tiket. Curug yang sempat menjadi populer karena mejadi setting sebuah tembang Sunda berjudul “Curug Cinulang” ini berjarak sekitar 35 km dari Bandung. Dalam larik pertama lagu itu menceritakan, “Di Curug Cinulang, bulan bintang menampakkan diri. Sayup-sayup terdengar sebuah lagu. Lagu tentang cinta dan kasih sayang berdua”. Romantis sekali!

20170828_131431

Continue reading